Oleh : Adrinal Tanjung
Di Sabtu siang yang cerah, saya melangkah ke Gramedia di Jl Merdeka Kota Bandung, berharap menemukan inspirasi baru. Di antara rak-rak buku yang berjejer, sebuah karya menarik perhatian saya: "Menulis Membaca Kehidupan" oleh Kristin Samah. Sampul merahnya seolah memanggil, dan saat membuka halaman-halamannya, saya segera terhanyut dalam perjalanan emosional yang sangat mirip dengan pengalaman hidup saya.
Kristin Samah mengajak pembaca untuk merenungkan kekuatan menulis sebagai alat untuk meresapi dan memahami kehidupan. Dengan gaya penulisan yang mengalir, ia berbagi pengalaman pribadi yang menginspirasi, tentang bagaimana menulis membantu mengatasi trauma dan menemukan makna. Sebagai seseorang yang telah berkecimpung di dunia literasi selama hampir dua dekade, saya merasakan getaran yang sama dalam setiap kalimatnya.
Buku yang ditulis wartawan Suara Pembaruan ini menjadi pengingat bahwa menulis adalah lebih dari sekadar aktivitas. Menulis adalah jembatan yang menghubungkan kita dengan orang lain. Kristin menunjukkan dengan jelas bahwa setiap pengalaman, baik suka maupun duka, layak untuk dituangkan ke dalam tulisan.
Dalam konteks saya sendiri, melalui buku-buku "Birokrat Menulis" 1, 2, 3, dan 4, saya pun berusaha berbagi kisah-kisah reflektif dari perjalanan saya di birokrasi pemerintahan. Melalui tulisan, kita tidak hanya mengungkapkan diri, tetapi juga mengajak orang lain untuk merasakan apa yang kita rasakan.
Salah satu aspek paling menyentuh dari buku ini adalah cara Kristin mengajak kita untuk merenungkan peristiwa hidup yang sering kita anggap remeh. Kematian, misalnya, menjadi tema yang sering saya tulis, terutama saat mengenang sahabat-sahabat yang telah pergi. Dalam buku ini, Kristin menyoroti pentingnya refleksi tersebut. Menghadapi kematian bukan hanya tentang kehilangan, tetapi juga tentang mengingat dan menghargai setiap momen berharga yang kita miliki.
Saat membaca buku ini, saya teringat akan reuni Akbar 35 Tahun SMA 2 Padang yang baru saya alami. Kegembiraan dan kehangatan saat bertemu kembali dengan sahabat-sahabat lama memberi saya inspirasi untuk menulis buku terbaru, "Musi Dua, Delapan Sembilan." Dalam karya ini, saya ingin berbagi refleksi dari perjalanan hidup kami, menyentuh tema-tema yang juga diangkat oleh Kristin.
"Menulis Membaca Kehidupan" adalah buku yang tidak terlalu tebal. Ulasannya ringan namun padat dengan makna. Kristin Samah berhasil menyampaikan bahwa menulis adalah perjalanan introspektif yang tidak hanya memberi kita ruang untuk merasakan, tetapi juga untuk berbagi.
Ia mengingatkan kita bahwa di balik setiap tulisan, ada potensi untuk menyentuh hati orang lain dan menjalin koneksi yang lebih dalam.
Bagi siapa pun yang mencari pemahaman lebih dalam tentang kekuatan menulis, buku ini adalah buku yang pas sebagai referensi. Semoga kita semua dapat terus menulis, berbagi, dan memberi makna, menjadikan setiap kata yang kita tulis sebagai bagian dari perjalanan hidup yang patut untuk selalu kita syukuri.
Bandung, 28 September 2024