Oleh : Adrinal Tanjung
Hari Selasa, 13 Februari 2024, adalah hari yang tak akan pernah saya lupakan. Tepat satu tahun yang lalu, Ayahanda berpulang, meninggalkan kami, anak-anak, cucu, dan cicit beliau. Jam 15.05 waktu setempat, di Rumah Sakit BMC Kota Padang, beliau menghembuskan nafas terakhirnya, setelah bertahan selama hampir empat tahun melawan sakit.
Setahun terakhir sebelum wafat, tubuh beliau semakin melemah, namun semangatnya tak pernah padam. Kepergian yang memang sudah ditentukan oleh-Nya, namun tetap meninggalkan kesedihan yang mendalam, tak hanya bagi saya, tetapi juga bagi saudara-saudara saya yang lain.
Ayah adalah sosok yang tak mudah dilupakan. Dengan sifat yang sederhana, pekerja keras, dan kadang keras hati, beliau adalah teladan dalam hidup kami. Sebagai seorang pedagang kecil, Ayahanda berjuang keras untuk membesarkan kami semua, terutama setelah Ibunda meninggalkan kami pada tahun 1991. Kehidupan tak pernah mudah, tetapi berkat keteguhan dan kegigihan Ayah, kami bisa bertahan, belajar, dan tumbuh menjadi pribadi yang kuat.
Kami bersepuluh, meski tak semua punya latar belakang pendidikan tinggi, sebagian memiliki pendidikan Program Diploma 3, dan dua orang SMK. Namun semuanya memiliki satu hal yang sama: etos kerja yang diwariskan oleh Ayah. Itulah yang menjadikan kami ingin maju sesuai bidang yang kami tekuni. Tujuh orang memiliki bisnis di bidang Optikal, satu orang PNS, satu orang anggota Kepolisian RI, dan satu orang memiliki bisnis sampingan di rumah.
Buku Tribute to Ayah
Saya adalah anak keempat. Sejak merantau ke Jakarta pada 1996, saya jauh dari keluarga, berusaha mengejar cita-cita dan impian di negeri orang. Setelah sempat bekerja di Perwakilan BPKP Sulawesi Utara di Manado hampir tiga tahun, akhirnya saya menetap di Jakarta selama lebih dari dua dekade, bekerja sebagai abdi negara di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Meskipun sering pulang untuk menengok Ayah dan saudara-saudara lainnya, ada satu hal yang selalu terasa hilang setelah kepergian beliau. Sosok Ayah yang dulu menjadi alasan utama saya kembali ke rumah, kini tak lagi ada. Kepergian beliau meninggalkan kekosongan hati.
Dulu, saya sering berpikir bahwa saya bisa menjadi anak terbaik di mata Ayah dan keluarga lainnya. Saya unggul di bidang akademis, saya tekun dan rajin belajar, namun di luar itu, saya merasa masih jauh dari harapan beliau.
Tiga tahun sebelum Ayah berpulang, saya sempat menulis sebuah buku untuk beliau yang saya beri judul Tribute to Ayah. Sebuah buku yang penuh dengan pengakuan saya, bahwa meski saya berusaha sebaik mungkin, saya belum bisa menjadi anak terbaik di mata keluarga.
Hidup dengan Kesabaran
Satu hal yang selalu saya ingat, Ayah telah mengajarkan kami untuk menerima takdir dan menjalani hidup dengan sabar. Ayah mengajarkan kami untuk bekerja keras, bangun sebelum fajar, dan tak pernah mengeluh, bahkan di saat-saat sulit. Saya mungkin tak pernah menjadi pejabat seperti yang diharapkan saudara-saudara saya, karena saya tak begitu tertarik untuk menjadi pejabat tinggi. Bagi saya, kebahagiaan sejati ada dalam menjalani tugas dengan hati, berkontribusi dan memberi nilai di kemudian hari. Itu pula yang membawa saya terjun di dunia literasi menulis yang sepi, jauh dari gemerlap.
Setahun ini, banyak hal yang menyadarkan saya bahwa hidup ini sementara. Kehidupan ini fana, dan pada akhirnya, yang kita tinggalkan adalah kenangan dan kebaikan yang telah kita lakukan. Kadang saya bertanya, apakah cukup banyak kebaikan yang saya tinggalkan bagi orang-orang di sekitar saya? Ataukah sebaliknya? Kematian memang adalah guru kehidupan yang paling nyata. Tahun 2024 menjadi saksi bahwa waktu begitu cepat berlalu, dan saya semakin menyadari bahwa hidup ini adalah perjalanan yang tak bisa diulang.
Berkumpul di Rumah Gadang
Seharusnya, hari ini saya bisa berkumpul dengan kakak dan adik-adik saya di Kota Padang, sesuai rencana yang saya susun beberapa hari yang lalu. Saya membayangkan bisa bersama mereka, berdoa di makam Ayah, dan menengok makam Ibunda serta saudara-saudara lainnya yang sudah berpulang lebih dulu. Namun, waktu tampaknya kurang bersahabat. Saya tidak bisa pulang hari ini untuk mengenang Ayahanda dan berkumpul dengan keluarga di rumah besar kami di Kota Padang.
"Setiap jiwa pasti akan merasakan mati..." (QS. Ali Imran: 185)
Tiap berjiwa pasti akan merasakan mati. Saya pun menghitung waktu, berharap masih ada kesempatan untuk melakukan banyak hal yang baik, melaksanakan amal shaleh, dan semakin mendekatkan diri kepada-Nya.
Saya berharap bisa pulang ke Ranah Minang sebelum Ramadhan tahun ini, bertemu sanak saudara, berziarah ke makam Ayahanda, Ibunda, dan adik saya yang juga berpulang dua bulan setelah Ayah.
Setahun tanpa Ayah banyak hal yang membuat saya tersadar. Di balik kematian banyak pelajaran yang bisa dipetik. Semoga kami sekeluarga masih diberikan kesehatan, keberkahan, melakukan kebaikan di sisa usia dan selalu kompak saling mendukung sebagai satu kesatuan keluarga besar.
"Kematian itu adalah ujian, dan setiap orang akan kembali kepada-Nya." (QS. Al-Mulk: 2)
Kematian adalah bagian dari perjalanan hidup, yang mengajarkan kita untuk terus berbuat baik, meninggalkan jejak kebaikan, dan selalu dekat dengan-Nya.
Bekasi, 15 Februari 2025